
MENYOAL TUT WURI HANDAYANI
Ketika mendengar kata Tut Wuri Handayani tentu yang ada dalam benak kita adalah dunia pendidikan, tidak salah karena kata itu pertama kali dicetuskan oleh Ki Hajar Dewantoro sebagai sebuah konsep pendidikan yang belakangan kemudian menjadi semboyan dalam dunia pendidikan di Indonesia. Meskipun dalam kenyataannya banyak pelajar yang tidak tahu makna Tut Wuri Handayani yang sebenarnya
Tut Wuri Handayani sendiri merupakan salah satu dari tiga kata yang menjadi satu dari apa yang disampaikan oleh Ki Hajar Dewantara yang kalimat lengkapnya adalah Ing Ngarso Sung Tulodo, Ing Madyo Mangun Karso dan Tut Wuri Handayani.
Secara bahasa arti dari kata-kata itu adalah yang di depan bisa menjadi contoh, yang di tengah bertugas memberi motivasi dan yang di belakang memberikan dorongan. Kurang lebih seperti itu yang kita dapat dari orang tua.
Bertahun-tahun kalimat ini menjadi kebanggaan bagi bangsa Indonesia, karena sudah merasa diwarisi sebuah kalimat yang indah yang mengandung tatanan nilai dalam pendidikan. Meskipun dalam kenyataannya cukup disayangkan harus kita akui konsep Tut Wuri Handayani belum menjadi ruh bagi pembangunan pendidikan yang ada di Indonesia. Bahkan konsep pendidikan terakhir yang diterapkan di Indonesia yang bernama Kurikulum Merdeka konon berkiblat pada negeri yang ada di Eropa yaitu Finlandia. Lalu di mana posisi Tut Wuri Handayani ditempatkan.
Ada realitas yang menarik dari kalimat Tut Wuri Handayani, yaitu bahwa ternyata jauh sebelum Ki Hajar menyampaikan konsep tersebut, sunan Kudus telah lebih dulu menyampaikan kalimat yang sama yaitu Tut Wuri Handayani. Namun kaitannya bukan pada konsep pendidikan melainkan konsep dalam melaksanakan dakwah agama Islam di tanah Jawa saat itu.
Tidak diketahui apakah dua kalimat yang muncul dari dua orang yang berbeda dan zaman yang berbeda pula itu ada kaitannya atau hanya sebuah kebetulan belaka. Jika pun tidak ada kaitannya, sangat wajar dan masih bisa diterima, karena keduanya masih sama-sama orang Jawa, dalam idiom Jawa dan dalam karakter pemikiran orang Jawa.
Untuk mengetahui lebih lanjut mengenai itu tentu perlu ada kajian lain yang lebih komprehensif. Tulisan kecil ini tidak masuk pada ranah sampai sejauh itu.
Jika Tut Wuri Handayani yang disampaikan Ki Hajar Dewantoro adalah bagian dari tiga kata yang menjadi satu konsep pendidikan, maka Tut Wuri Handayani yang disampaikan oleh Sunan Kudus adalah satu dari dua kata yang menjadi satu konsep dasar dakwah para wali pada saat itu yaitu Tut Wuri Handayani dan Tut Wuri Hangiseni
Adapun ungkapan Tut Wuri Handayani yang disampaikan oleh sunan Kudus adalah mengikuti dari belakang terhadap tingkah laku, kepercayaan dan adat istiadat warga setempat, tapi mengusahakan untuk terus mempengaruhi sedikit demi sedikit dan prinsip Tut Wuri Hangiseni artinya mengikuti dari belakang sambil mengisi tradisi yang ada dengan ajaran agama Islam.
Dan keduanya mempunyai irisan untuk dijadikan semboyan pendidkan.
Pada saat hadirnya para wali tanah Jawa, kondisi Jawa saat itu sudah banyak agama dan kepercayaan, baik agama yang dibawa dari luar maupun kepercayaan turun temurun dari para leluhur.
Saat itu Agama Hindu dan agama Budha sebagai agama yang terbesar dan menjadi pondasi nilai dalam berbagai ranah kehidupan masyarakat Jawa. Di samping agama, kepercayaan yang diwariskan dari para leluhur yang sudah ada sejak puluhan atau bahkan ratusan tahun yang lalu juga menjadi ruh bagi setiap kegiatan sehari-hari. Sehingga untuk bisa melaksanakan dakwah di tanah Jawa bukanlah hal yang mudah, perlu ada strategi yang matang dan eksekusi yang terukur agar dakwah yang dilakukan bisa berjalan dengan baik.
Ini bukan kali pertama usaha penyebaran agama Islam dilakukan di tanah Jawa. Bersadarkan catatan sejarah yang ada di Tiongkok, pada masa Kerajaan Kalingga sekitar tahun 670-690 an atau setelah zaman sahabat Ali bin Abi Thalib yang saat itu berada dibawah pemerintahan Ratu Shima pernah ditemukan sekumpulan orang Timur Tengah yang bermukim di tanah Jawa. Bisa dibilang itu gelombang awal dari usaha dakwah agaam Islam untuk masuk di tanah Jawa, setelah itu banyak lagi gelombang-gelombang dari Timur Tengah untuk melaksanakan kegiatan dakwah di tanah Jawa, namun tidak berhasil paling tidak hingga 1440 an M.
Gelombang dakwah mulai terlihat menuai hasil sejak datangnya para pendakwah dari negeri campa yang dipimpin oleh syekh Syaikh Ibrahim Asmarakandi yang merupakan ayah dari Sunan Ampel beserta keluarga pada tahun 1440 M.
Kehadiran beliau membuka gerbang kesuksesan dakwah penyebaran agama Islam di tanah Jawa. Banyak ahli sejarah yang menganalisa kesuksesan tersebut disebabkan karena beberapa faktor diantaranya:
1. Kehadiran syekh Syaikh Ibrahim Asmarakandi ke Tanah Jawa tidak dengan tangan kosong, melainkan pada posisi beliau sebagai kerabat dari keluarga Kerajaan Majapahit pada saat itu, sehingga permohonan beliau untuk menjadi pendakwah diterima dengan tangan terbuka. Tentu hal ini berimbas pada tingkat kepercayaan masyarakat Jawa yang masih bersifat raja sentris, akibatnya ketika Syaikh Ibrahim Asmarakandi hadir dengan agama baru bisa diterima dengan tangan terbuka tanpa adanya kecurigaan.
2. Para wali mengadakan pendekatan dengan masyarakat Jawa menggunakan ilmu tasawuf. Hal ini dimaksudkan karena ilmu tasawuf itu bersifat ilmu ushul, atau ilmu yang membahas tentang pondasi kebenaran, yang mana jika ditarik benang merah akan ada irisan dengan ajaran manapun selama berpegang pada kebenaran itu. Dan terbukti pada tataran ini orang jawa merasa agama Islam tidak bertentangan dengan nilai-nilai kepercayaan leluhur yang sudah dipegang mereka sebelumnya , meskipun secara syariat belum bisa terlaksana dengan sempurna.
3. Para wali menggunakan cara akulturasi kebudayaan dengan agama sehingga Jawa yang kaya dengan budaya tidak disingkirkan namun justru dimanfaatkan untuk melaksanakan dakwah, dari sinilah sehingga muncul lakon-lakon pewayangan yang diciptakan para wali, atau tembang-tembang macapat gubahan para wali yang bisa didengarkan sampai sekarang dll.
Paling tidak tiga poin tersebutlah yang menjadikan dakwah Islam di Jawa sukses dan diterima masyarakat Jawa pada umumnya.
Diawali dari syekh Maulana kalau diteruskan anaknya yaitu sunan Ampel diteruskan lagi sunan Bonang dan seterusnya sampai 9 wali hampir semuanya menggunakan pola dakwah yang sama.
Ada benang merah keterkaitan antara satu dengan lainnya yaitu yang oleh sunan Kudus disebutkan di atas yaitu Tut Wuri Handayani dan Tut Wuri Hangiseni.
Adapun penerapan konsep Tut Wuri Handayani dalam prakteknya yaitu ketika seorang wali hadir dalam sebuah komunitas masyarakat itu tidak langsung terjun mendakwahkan mereka namun melalui sebuah pengamatan, analisa dan melihat, celah pada titik mana masyarakat tersebut dapat dimasuki nilai-nilai dan ajaran Islam.
Sebagai langkah awal seorang wali mengikuti terlebih dahulu adat istiadat yang ada pada masyarakat tersebut. Seorang wali memanfaatkan tingkat kepercayaan masyarakat atas amalan yang diberikan kerajaan maka beliau mulai sedikit demi sedikit mengarahkan amalan-amalan pada mereka yang tidak sesuai dan berakibat tidak baik.
Pada cerita teks yang tersebar, Sunan Bonang misalnya beliau masuk suatu daerah di wilayah Demak tidak langsung mendakwahkan agama, namun mengikuti alur adat yang ada pada saat itu. Wali yang mempunyai nama asli Raden Makdum Ibrahim bahkan sering memainkan gamelan berjenis bonang hingga menarik warga sekitar untuk mendengarkan hingga beberapa waktu sampai pada saat tertentu beliau berani mempengaruhi adat-adat yang ada tersebut. Dengan diawali memberi pengertian tindakan-tindakan yang salah seperti mabuk-mabukan, judi dan lain-lain beliau masuk ke alam batin mereka.
Inilah konsep awal Tut Wuri Handayani versi para wali yaitu mengikuti dari belakang namun sedikit demi sedikit ikut mempengaruhi.
Niat luhur menggunakan istilah Tut Wuri Handayani menjadi bagian dari semboyan pendidikan yang ada di Indonesia patut diapresiasi karena tentu keputusan itu mengandung harapan bahwa kelak Tut Wuri Handayani akan menjadi ruh bagi pengembangan pendidikan yang ada di Indonesia.
Terlepas dari Tut Wuri Handayani versi siapapun akan bisa diambil ruh pendidikannya.
Secara teknis makna konsep pendidikan yang usung Ki Hajar Dewantara jika di breakdown sebagai berikut: Ing Ngarso Sung Tulodo, yang mempunyai makna: Di depan memberikan contoh atau teladan. Contoh penerapannya dalam kehidupan sehari-hari ialah saat guru mengajar menggunakan metode ceramah atau memberikan nasihat, ia harus benar-benar siap dan tahu bahwa apa yang diajarkannya tersebut adalah baik dan benar.
Dan makna Ing Madyo Mangun Karso, yaitu: Di tengah membimbing, memotivasi, dan memberikan semangat. Hal ini ini dapat tercermin saat kegiatan belajar mengajar guru menggunakan metode diskusi. Sebagai pendidik, guru diharapkan dapat memberikan masukan atau arahan yang relevan dan berguna bagi anak didiknya.
Sedangkan Tut Wuri Handayani : Di belakang memberikan dorongan. Contoh pelaksanaan ini dapat terlihat saat guru mengamati, mengikuti, dan mengarahkan anak didik dari belakang dalam mengimplementasikan apa yang dipelajarinya.
Adapun ungkapan Tut Wuri Handayani yang disampaikan oleh sunan Kudus dengan mengikuti dari belakang terhadap tingkah laku, kepercayaan dan adat istiadat warga setempat, tapi mengusahakan untuk terus mempengaruhi sedikit demi sedikit jika dibreakdown ke dalam pendidikan maka akan kita temukan makna bahwa sebagai pendidikan harus mengikuti karakter dan latar belakang dari anak didiknya, baik latar belakang social mapun ekonominya. Seorang pendidik tidak bisa memaksakan setiap anak dengan cara penanganan yang sama, maka ikuti dulu polanya lalu ambil hatinya atau perhatiannya. Karena setiap pribadi anak didik mempunyai pola yang berbeda.
Dan prinsip Tut Wuri Hangiseni yang artinya mengikuti dari belakang sambil mengisi tradisi yang ada dengan ajaran baru. Jika semboyan ini dibreakdown ke dalam pendidikan maka akan kita temukan makna bahwa setelah seorang pendidik mendapatkan hati atau perhatiannya dari anak didik maka langkah selanjutnya yaitu memberi pengetahuan baru atau ilmu baru.
Lalu sekarang kita mau ambil Tut Wuri Handayani yang mana sah-sah saja atau mau tetap menggunakan gaya eropa yang konon lebih modern semua tergantung penguasa pengambil keputusan. Semoga Menteri Pendidikan yang baru dapat mewujudkan kurikulum pendidikan yang berbasis kearifan Nusantara (adm)
Komentari Tulisan Ini
Tulisan Lainnya
PESAN TUHAN DARI PERISTIWA GERHANA
Bulan lalu di negara kita telah terjadi gerhana bulan, sebuah fenomena alam yang umum terjadi di belahan dunia manapun. Begitu juga di Indonesia yang pada malam itu ada sebagian yang be
MEMETIK HIKMAH DARI KISAH NABI IBRAHIM
Idul Adha adalah sebuah perayaan besar yang kita sebagai seorang muslim tentu sudah paham betul sejarahnya, latar belakangnya dan siapa pelakunya, yang tidak lain adalah Nabiyullah Ibra
IDUL ADHA DALAM SAMUDRA HATI SITI HAJAR
Suamiku, apa ini tempat yang kau janjikan itu? Kalo benar ini tempatnya menurutku hagus, aku tak melihat ada yang janggal disini, semua baik-baik saja. Tanah yang luas, sinar mat
MENGGUGAT ADAM
Diskursus tentang keberadaan Nabi Adam sedang ramai dibicarakan, akhir-akhir ini Nabi Adam banyak dicurigai bukan sebagai manusia pertama seperti yang selama ini diyakini. Kecurigaan in
TEORI EVOLUSI IKAN?
Gambar proses evolusi manusia yang terpampang besar di sekolah kami sering menjadi bahan pertanyaan. Entah berapa kali gambar yang awalnya hanya “iseng” sebagai bahan imajin
SMK SUPM AL MA'ARIF TEGAL MERAIH JUARA III PADA KOMPETISI AGILITY'S STUDENTS COMPETITION DI UNIVERSITAS PANCASAKTI TEGAL
SMART-Sebuah prestasi apik telah diukir oleh taruna/i SMK SUPM Al Ma'arif. Prestasi ini cukup membanggakan bagi civitas akademika SMK SUPM Al Ma'arif Tegal, karena kali ini bukan dibida
Wawasan Kebangsaan Gen Alpha
Wawasan Kebangsaan untuk Generasi Alpha: Menanamkan Nilai-Nilai Kebangsaan di Era Digital Generasi Alpha, atau anak-anak yang lahir setelah tahun 2010, adalah generasi yang tumbuh bers
PENGABDIAN SANTRI UNTUK NEGERI
Hari santri yang jatuh setiap tanggal 22 Oktober merupakan penghargaan atas peran santri sekaligus pengakuan terhadap eksistensi santri dalam sejarah perjalanan bangsa baik ketika masih
SEJARAH HAJI NUSANTARA
Beberapa waktu yang lalu saudara-saudara kita yang berkesempatan untuk berangkat haji telah pulang kembali ke rumahnya masing-masing, kesan dan cerita selama perjalanan barangkali juga
PESAN KEPIMPINAN DALAM KISAH NABI IBRAHIM
Sebentar lagi kita akan memasuki bulan politik di mana kita sebagai warga Indonesia, khususnya warga kota Tegal akan melaksanakan pemilihan Walikota dan Gubernur. Tentu kita menginginka